Reading
Add Comment
TRIBUNNEWS.COM - Dua orang siswi di Palangkaraya, Kalimantan Tengah berhasil menjadi juara dunia penyembuhan penyakit Kanker Payudara.
Keduanya yakni Anggina Rafitri dan Aysa Aurealya Maharani yang merupakan siswi SMA 2 Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Mengutip Kompas.com, Anggina Rafitri dan Aysa Aurealya Maharani meraih medali emas di World Invention Creativity Olympic (WICO), Seoul, Korea Selatan dibidang saint setelah menemukan obat penyebuh kanker dari akar Bajakah tumbuhan khas Kalimantan Tengah) yang dibubukan.
Ketika bubuk akar bajakah diuji cobakan ke tikus, Anggina dan Aysa menemukan bahwa sel tumor bisa menghilang dalam waktu dua minggu.
Rupanya, ramuan tanaman Bajakah ini sudah cukup dikenal bagi masyarakat suku dayak Kalimantan Tengah sebagai obat tradisional penyembuh kanker.
Salah seorang keluarga penderita kanker payudara mengakui kemanjuran tanaman bajakah ini sebagai obat kanker.
Daldin warga suku Dayak asli di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah mengatakan jika ibunya berhasil disembuhkan dengan setelah minum tanaman Bajakah tersebut.
"Kalau saya biasa menyebutnya Bajakah tunggal," kata Daldin dikutip tribunnewsBogor.com dari tayangan live streaming Yuotube KompasTV berjudul : Siswa Juara Dunia Penyembuh Kanker - AIMAN, Senin (12/8/2019) malam.
Wartawan KompasTV, Aiman Witjaksono sempat berbicang langsung dengan Daldin yang mengaku ibunya saat ini telah sembuh dari penyakit kanker payudara stadium 4.
Bahkan, reaksi Aiman pun tampak kaget saat mendengar kanker stadium 4 itu sembuh total.
Aiman pun sempat melontarkan sejumlah pertanyaan kepada Daldin terkait kasiat dari tanaman Bajakah tersebut.
Daldin bercerita, sekitar 40 tahun lalu atau sekitar tahun 1970 ibundanya Daldin menderita kanker payudara.
Menurut dokter, kanker payudara yang diderita sang ibu saat itu sudah level stadium 4.
Bahkan, sang dokter sempat menyarankan agar ibunya dioperasi.
Namun, lantaran keterbatasan biaya dan jarak sang ibu pun dibawa pulang dari rumah sakit.
"Saat itu orangtua memberitahu tahu saya stadium 4," kata Daldin menceritakan kisahnya 40 tahun silam.
Saat itulah ayah Daldin pergi ke hutan dan mencari tumbuhan Bajakah untuk kemudian direbus dan airnya diberikan kepada sang istri.
Sebab, kondisi ibu Daldin saat itu sangat memprihatinkan.
"Bisa digambarkan bagaimana kondisinya," tanya Aiman.
"Saya melihat sendiri ibu saya, dia (Ibu Daldi,red) punya susu sudah bernanah," kata Daldin kepada Aiman dalam wawancaranya secara ekslusif.
Menurut Daldin, ayahnya yang pertamakali membawakan obat tersebut kepada ibunya.
Namun, ia mengaku tidak tahu asal mula ayahnya bisa membawakan tanaman tersebut hingga menjadi ramuan obat yang cukup mujarab.
"saya engga tahu, karena waktu itu saya masih kecil," ungkapnya.
Daldin mengatakan, tanaman Bajakah yang dibawa ayahnya itu direbus lalu airnya diminumkan kepada sang ibu.
"Dua minggu bereaksi, satu bulan sembuh total," kata Daldin.
"Bagaimana kondisi ibu sekarang? tanya Aiman.
"Alhamdulillah, ibu saya saat ini masih sehat," imbuhnya
Tanggapan Ahli
Kabar mengenai dua siswa asal SMA Negeri Palangka Raya, Anggina Rafitri dan Aysa Aurealya Maharani, yang meraih medali emas di World Invention Creativity Olympic (WICO), Seoul, Korea Selatan disambut antusias oleh masyarakat Indonesia.
Dalam kabar yang beredar, keduanya disebut menemukan obat penyembuh kanker dari akar tumbuhan Bajakah (tumbuhan khas Kalimantan Tengah) yang dibubukkan.
Ketika bubuk Bajakah diuji cobakan ke tikus, Anggina dan Aysa menemukan bahwa sel tumor bisa menghilang dalam waktu dua minggu.
Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia (YKI) pusat, Prof Dr dr Aru Sudoyo, meminta masyarakat untuk tidak berlebihan berharap terhadap Bajakah.
"Masyarakat tidak perlu terlalu berharap tinggi dengan hasil uji coba awal begitu. Ingat, tidak ada obat yang ajaib," ujarnya ketika dihubungi oleh Kompas.com via telepon, Senin (12/8/2019).
Lebih lanjut Aru menegaskan bahwa memang ada banyak sekali obat kanker yang berasal dari tanaman herbal khas Indonesia. Biasanya bukan berupa dedaunan, bisa berupa akar bahkan kulit batang pepohonan. Namun, butuh proses panjang atau lama untuk memastikan secara benar manfaatnya terhadap pengobatan kanker pada manusia.
"Karena uji coba awal dengan tikus itu berbeda dengan uji coba kepada manusia. Seringkali penelitian itu berhasil digunakan pada tikus, tetapi ketika (diuji coba) pada manusia hasilnya nihil. Dan itu banyak terjadi," kata Aru.
Namun demikian, Aru tetap berharap agar penemuan dan uji awal yang dilakukan kedua siswa tersebut memang benar, dan bisa dilanjutkan hingga terealisasi kepada kanker payudara manusia.
"Saya tidak menampik, ada kemungkinan memang bisa tumbuhan itu (Bajakah) digunakan untuk obat kanker. Tapi banyak fase yang harus dilalui, dan semoga saja ada yang mau membantu proses penelitian tersebut berlanjut," imbuhnya.
Menurut Aru, sudah banyak juga tanaman atau tumbuhan di Indonesia ini yang diduga pada penelitian awal mempunyai pengaruh untuk mengobati kanker. Akan tetapi, ketika melalui beberapa tahap atau fase penelitian yang mutakhir, akhirnya gagal dan hanya bisa dijadikan suplemen.
"Tidak banyak perusahaan farmasi di Indonesia yang mau ambil risiko besar melakukan penelitian terhadap obat-obatan kanker. Jika pun ada, mungkin hanya dua perusahaan. Jika gagal, bahan utama uji coba itu hanya dijadikan suplemen saja," katanya.
Meskipun dikatakan bahwa tanaman Bajakah sudah menjadi konsumsi sehari-hari bagi masyarakat di daerah Kalimantan Tengah untuk menghilangkan kanker payudara, Aru menghimbau masyarakat yang menderita kanker untuk tetap mengimbanginya dengan obat konvensional dan menjadikan bajakah sebagai suplemen saja.
Artikel ini telah tayang di tribunnewsbogor.com dengan judul Cerita Keluarga Penderita Kanker Stadium 4 Sembuh Setelah Minum Tanaman Bajakah, Aiman Sampai Kaget,
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Kanker Stadium 4 Hilang Usai Konsumsi Akar Bajakah, Tumbuhan di Hutan Kalteng, Ini Kisahnya, https://www.tribunnews.com/kesehatan/2019/08/13/kanker-stadium-4-hilang-usai-konsumsi-akar-bajakah-tumbuhan-di-hutan-kalteng-ini-kisahnya?page=4.
Editor: Anita K Wardhani
0 komentar:
Posting Komentar